Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : Ust. Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana mungkin seorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal nama dan sifat Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah ini tidak terlalu rumit, lantaran mereka dapat menyikapinya secara proporsional. Namun, masalah ini kini menjadi krusial, lantaran percikan syubhat para ahli bid’ah yang kurang puas dengan manhaj salaf dalam Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir dan merubah dalil yang shahih dari makna aslinya, padahal -kalau disadari- sebenarnya mereka telah membeo kaum Yahudi yang terlaknat.

Contohnya terlalu banyak kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi cukuplah sebagai perwakilan, hadits tentang nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, dimana hadits ini telah diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat jalan dan terombang-ambing dalam kebingungan nan kegelapan.

Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk mengkaji hadits tersebut dan menguraikan belitan syubhat para pengekor hawa nafsu seputar hadits tersebut. Semoga Allah selalu meneguhkan kita untuk meniti di atas jalanNya yang lurus. Amiin.

TEKS HADITS

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ


Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1]

HADITSNYA MUTAWATIR

Hadits tentang nuzulnya Allah tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:

1. Imam Abu Zur’ah berkata[2]: “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”.

2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari Nabi”.[3]

3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”.[4]

4. Imam Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang adil dari Nabi”.[5]

5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke generasi selanjutnya[6]. Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh banyak sahabat”.[7]

6. Imam Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”.[8]

7. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah dijelaskan dalam hadits -hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [9]

Demikian pula ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi[10],  Al-Kattani [11]dan Al-Albani[12].

Daftar Sahabat  Periwayat Haditz Nuzul

Hadits nuzul ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya :

* Abu Bakar Ash-Shiddiq,
* Ali bin Abi Thalib,
* Abu Hurairah,
* Jubair bin Muth’im,
* Jabir bin Abdullah,
* Abdullah bin Mas’ud,
* Abu Sa’id Al-Khudri,
* Amr bin ‘Abasah,
* Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani,
* Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi,
* Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya,
* Abu Darda’,
* Mu’adz bin Jabal,
* Abu Tsa’labah Al-Khusyani,
* Aisyah,
* Abu Musa Al-Asy’ari,
* Ummu Salamah,
* Anas bin Malik,
* Hudzaifah bin Yaman,
* Laqith bin Amir Al-‘Uqaili,
* Abdullah bin Abbas,
* Ubadah bin Shamith,
* Asma’ binti Yazid,
* Abul Khaththab,
* ‘Auf bin Malik,
* Abu Umamah Al-Bahili,
* Tsauban,
* Abu Haritsah, dan
* Khaulah binti Hakim. [13]

SYARH HADITS

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Para salaf, para imam dan para ahli ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf menyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat yang terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”. [14]

Imam Al-Ajurri berkata:
“Iman dengan ini wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana Allah turun? Dan tidak ada yang mengingkari ini kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya adalah wajib tanpa takyif (membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari Rasulullah bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam.  Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama menerima semua itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan: “Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”. Mereka waspada darinya dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [15]

Imam Ibnu Khuzaimah berkata:
“Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan ‘Iraq meriwayatkan dari Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita bersaksi dengan persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan dengan hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita bahwa Dia turun, sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk menjelaskan sesuatu yang dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita membenarkan  hadits-hadits ini yang berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan sifat turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah”.[16]

Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. [17]


SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Dari segi sanad, sepertinya para ahli bid’ah tidak dapat berkutik apa-apa lagi lantaran sangat kuatnya. Namun mereka tetap tidak putus asa untuk menaburkan debu dengan mengarahkan bidikan pada matan (kandungan) hadits ini, seperti:
A. Tasybih
Mereka mengatakan[18]: Kalau kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun itu berarti Allah serupa dengan makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah". [19](QS. Asy-Syura: 11).

Jawaban:
Kaidah kita dalam masalah Asma wa Sifat adalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau rasulullah dalam haditsnya yang shahih tanpa menyerupakannya dengan sesuatupun dan mensucikanNya tapa mengingkari sifat-sifatNya sebagaimana firman Allah:

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat". (QS. Asy-Syura: 11).

* Firman  Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ  “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya” merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).

* Adapun firmanNya: وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha  melihat”. Merupakan bantahan terhadap golongan yang merubah makna sifat dan mengingkarinya. Jadi, kewajiban kita adalah menetapkna apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan menafikan apa Dia nafikan tanpa tahrif (merubah makna) dan ta’til (mengingkarinya). Inilah manhaj (metode) selamat yang harus ditempuh oleh setiap muslim, karena dibangun di atas ilmu dan kelrusan dalam i’tiqad. [20]

Imam Syaukani berkata,
“ Barangsiapa yang memahami dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya niscaya dia akan meniti di atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan perselisihan manusia dalam masalah sifat-sifat Alloh. Lebih mantap lagi apabila engkau merenungi makna firman Allah: “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. karena penetapan ini setelah peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap dan obat penawar hati. Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas dan kuat ini, niscaya engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan meremukkan argumen para tokoh kesesatan dan ahli filsafat”. [21]

* Jadi, kita menetapkan sifat “turun” bagi Allah sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi yang mulia tanpa menyerupakannya dengan turunnya makhluk. Apabila ada yang mengingkarinya dengan alasan “kalau kita tetapkan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk”, maka ini bathil. Kita tanyakan kepadanya: Apakah anda menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah? Kalau dia tidak menetapkannya, maka dia telah mengingkari ayat di atas. Dan apabila dia menetapkannya, maka dia telah kontradiksi karena makhluk juga mempunyai sifat mendengar dan melihat. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya. Mengapa kalian menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak menetapkan sifat lainnya, padahal sama-sama berlandaskan dalil yang shahih? Sungguh ini suatu kontradiksi yang sangat ajaib sekali!!!.

* Jadi sekali lagi, menetapkan sifat turun bagi Allah bukan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk, tidak ada seorang ulama salaf-pun yang berfaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 5/252: “Apabila seseorang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya, seperti mengatakan istiwa’ Allah serupa dengan istiwa’ makhlukNya, atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk dalam segala segi”.[22]

* Lucunya, mereka menuding kaum salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj yang benar sebagai kaum musyabbihah atau mujassimah! Subhanallah, hanya kepada Allah kita mengadu!.

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan:
“Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih[23] (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. [24]

B. Tahrif
Banyak sekali takwil dan tahrif yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka mengatakan: Bukan Allah yang turun, tetapi perintah Allah!. Ada lagi yang mengatakan: Rahmat Allah! Lain lagi mentakwilkan: Malaikat dari para malaikat Allah!. Adapun KH. Sirajuddin Abbas, dia berpendapat lain lagi: “Maksud hadits ini -menurut Ahlus Sunnah- bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh karena itu hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya hadits ini”. (I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah hal. 276).

Jawab:

Tahrif seperti ini adalah bathil ditinjau dari dua segi:
Secara global : Asli dalam ungkapan seseorang adalah hakekat (bukan majaz) sehingga ada dalil yang memalingkannya kepada makna majaz. Sungguh amat mustahil sekali, bila Nabi Muhammad seringkali dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar oleh banyak sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna sesungguhnya!. Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi kita Muhammad ataukah kaum Mu’tazilah dan Asyairah?! Tidakkah mereka menyadari bahwa merubah arti dari dhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh Allah?!:

"..Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya".(QS. An-Nisa’: 46)

"Lalu orang-orang yang zhalim mengganti ucapan yang tidak dierintahkan kepada mereka". (QS. Al-Baqarah: 59)

Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tatkala mengatakan dalam Nuniyahnya 1923-1930:

أَُمِرَ الْيَهُوْدُ بِأَنْ يَقُوْلُوْا : حِطَّةٌ              فَأَبَوْا وَقَالُوْا: حِنْطَةٌ لِهَوَانِ

وَكَذَلِكَ الْجَهْمِيُّ قِيْلَ لَهُ : اسْتَوَى           فَأَبَى وَزَادَ الْحَرْفَ لِلنُّقْصَانِ

نُوْنُ الْيَهُوْدِ وَلاَمُ جَهْمِيٍّ هُمَا               فِيْ وَحْيِ رَبِّ الْعَرْشِ زَائِدَتَانِ


Orang Yahudi diperintahkan untuk mengatakan Hithah (ampunilah).
Mereka enggan, bahkan berkata: Hinthah (gandum) demi kehinaan.
Demikian pula Jahmi dikatakan padanya: Istawa (tinggi)
Mereka enggan dan menambah huruf (istaula/berkuasa)[25].
Tambahan huruf “Nun” Yahudi dan “Lam” Jahmi
Keduanya dalam timbangan syar’I adalah tambahan.

Adapun secara terperinci:

* Urusan dan nikmat Allah tidaklah turun pada saat khusus sepertiga malam terakhir saja, bahkan kapanpun waktunya. Allah berfirman, yang artinya:

"Dan apa saja nikmat yang ada ada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)".(QS. An-Nahl: 53)

* Kemudian apalah faedahnya nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit dunia saja tetapi tidak turun ke bumi?!

* Adapun kalau diartikan “malaikat” maka kita jawab: Apakah masuk akal kalau malaikat mengatakan: Siapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan…?! Maka jelaslah bahwa tahrif ini adalah bathil, termentahkan oleh hadits fakta lapangan. [26]

* Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz tatkala membantah perubahan makna seperti ini:

“Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash yang shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar adalah pendapat salaf shaleh, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya. Semoga engkau bahagia dan selamat”. [27]

C. Akal-akalan
KH. Sirajuddin Abbas berkata dalam buku hitamnya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hal. 276: “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di Indonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepetiga malam sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu”.

Jawaban:

Penulis sudah pernah membantah syubhat ini[28], saya katakan waktu itu: Demikianlah jika seorang telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tiak pasrah terhadap hadits Rasul yang shahih? Bukankah Allah berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadapan keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
(QS. An-Nisa’: 65: )

* Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam az-Zuhri bahwasanya beliau mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk”. [29]

* Imam ath-Thohawi berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya dan mengembalikan segala kesamaran kepada Dzat yang maha mengetahui”. [30]

Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:

1. Beriman dengan nash-nash yang shahih.
2. Tidak bertanya bagaimannya serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap Allah tanpa dasar ilmu, sedangkan Allah tak dapat dijangkau dengan akal fikiran.
3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman, yang artinya:

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat." (QS. Asy-Syura: 11)

Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tibasepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana diberitakan oleh Nabi”. [31]

FIQIH HADITS

Hadits ini memiliki beberapa faedah yang banyak sekali. Dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah hal. 451-454, Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dapat menarik 38 faedah dari hadits di atas, diantaranya:

1. Ketinggian Allah di atas arsy-Nya.

Dalam hadits ini terdapat faedah berharga tentang sebuah aqidah yang banyak dilupakan oleh mayoritas kaum muslimin saat ini yaitu tentang ketinggian Allah di atas langit. Hal itu diambil dari lafadz “Turun” karena makna “turun” dalam bahasa adalah dari atas ke bawah bukan sebaliknya.

* Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata: “Hadits ini sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”.[32]

* Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [33]

2. Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah

* Faedah ini diambil dari kandungan hadits: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu maka akan Aku kabulkan…”. Sifat “kalam” merupakan salah satu sifat yang sempurna dan hakekat (bukan majaz) bagi Allah. Banyak sekali dalil yang mendukungnya, salah satunya adalah firman Allah, yang artinya:

"Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung". (QS. An-Nisa’: 164)
Pernah dikisahkan bahwa sebagian Mu’tazilah pernah datang kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’, salah seorang pakar ahli qira’ah: Saya ingin agar anda membaca:

    وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

Dengan menashabkan (menfathah) lafadz Allah, agar supaya yang berbicara (subyek) adalah Musa, bukan Allah. Abu ‘Amr lantas menjawab: Taruhlah aku membaca ayat ini seperti itu, lantas apa yang akan kau perbuat dengan firman Allah:

"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya". (QS. Al-A’raf: 143)

Akhirnya, seorang Mu’tazilah itu diam seribu bahasa!. [34]

3. Keutamaan sepertiga malam terakhir

Malam hari adalah saat keheningan hati, ketenangan, keikhlasan, dimana  saat itu manusia dalam kelelapan tidur. Oleh karenanya, doa pada saat itu mustajab, terutama pada malam terakhir.

Allah berfirman, yang artinya:

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam". (QS. Adz-Dzariyat: 16-17)

Nabi juga bersabda:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ

Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [35]

* Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi berkata dalam: “Sebagai penutup bab ini, tidak pantas bagi seorang yang butuh kepada Allah kemudian dia tidur di waktu malam terakhir”.[36]

Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini -wahai saudaraku- untuk memperbanyak doa, istighfar dan taubat sebelum maut menjemputmu.

اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ             فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ               ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ

Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat
Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.
Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.
Jiwanya yang sehat melayang  cepat[37].

 _________
FooteNote
[1] HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.
[2] Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. (Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy).
[3] Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283
[4] Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100
[5] At-Tamhid 3/338
[6] Majmu Fatawa 5/372
[7] Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421
[8] Al-Uluw hal. 116 -Mukhtashar Al-Albani-
[9] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 -Mukhtashar Al-Mushiliy-
[10] Ash-Sharimul Munki hal. 229
[11] Nadhmul Mutanasir hal. 192
[12] Silsilah Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365
[13] Lihat Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini 7/198, Kitab Nuzul Ad-Daruqutni.
[14] Syarah Hadits Nuzul hal. 69-70.
[15] Asy-Syari’ah 2/93 -Tahqiq Walid bin Muhammad-.
[16] Kitab At-Tauhid wa Itsbat Shifat Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras-.
[17] At-Tamhid 3/349
[18] Bandingkan dengan buku “I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh KH. Sirajuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, cet ke 19 Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke sebuah toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang lagi oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah!!!
[19] Perhatikanlah -wahai saudaraku- para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak menyempurnakannya, karena lafadz berikutnya akan membungkam fahamnya!! Inikah amanah ilmiyah ataukah ini perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya?!.

[20] Taqrib at-Tadmuriyyah hal 12 oleh Syaih Muhammad bin Shalih Utsaimin.
[21] Fathul Qadir 4/528.
[22] Ucapan mantap ini mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering didengungkan oleh kaum kuburiyyun dan ahli bid’ah, termasuk KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama 2/215-217.

[23] Contoh mudah,  tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, katanya dalam buku yang sama hal. 262: “Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan faham-faham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk”.  Pada hal. 263: “Jadi beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya dalam I’tiqad”.

[24] At-Tamhid 3/351.
[25] Termasuk keajaiban dunia, KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan menguasai, bahkan membantah para ulama yang mengartikannya secara lahirnya yaitu tinggi, tak cukup hanya itu dia juga menggap bahwa mereka sesat lagi menyesatkan!!!.

[26] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 5/415-417, Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnu Qayyim 2/221-224, Syarh Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435).

[27] Ta’liq Fathul Bari 3/30.
[28] Dlam makalahnya berjudul “Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” dimuat dalam Majalah As-Sunnah edisi 12/Th V/1422 H/2001 M.

[29] Lihat Fathul Bari 13/512).
[30] Lihat Syarah Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 199).
[31] Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.
[32] Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285).
[33] At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[34] Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah 1/177 oleh Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth.   Sebab kata “Rabbuhu” dalam ayat di atas mesti dan wajib sebagai subyek, tidak mungkin dirubah sebagai obyek sebagaimana tertera dalam kaidah nahwu. (Lihat Syarh Qathr Nada, Ibnu Hisyam hal. 182-183).

[35] HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442.
[36] Ad-Du’a Al-Ma’tsur wa Adabuhu hal. 68
[37] Bahjatul Majalis 3/260.

Sumber : http://abiubaidah.com/turunnya-allah-ke-langit-dunia.html/


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.