Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



SIAPA SEBENARNYA PEMBANGKIT RADIKALISME & TERORISME MODERN DI TENGAH UMAT ISLAM ?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : Ust. Muhammad Arifin Badri, MA
( Mahasiswa Doktoral Univ Islam Madinah, KSA )

Bismillah,
Dunia internasional secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang kebeneran. Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka, karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di gedung WTC pada 11 September 2001. akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai disitu. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput darinya. Kasus yang paling aktual adalah yang menimpa Pangeran Muhammad bin Nayif Alus Sa’ud, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.

Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa faham yang diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan ini masih juga di arahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?

Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengis yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?

Harian “Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 menukil catatan harian Dr. Aiman al-Zhawahiri, tangan kanan Usamah bin Ladin. Di antara catatan harian Dr. Aiman al-Zhawahiri yang dinukil oleh harian tersebut adalah:

“Sesungguhnya Sayyid Qutb dalam kitabnya yang bak bom waktu “Ma’alim Fi At-Thariq” meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub lah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal. Sebagaimana kitab beliau yang berjudul “Al-’Adalah Al-Ijtima’iyah Fil Islam” merupakan, hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luat negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dair hari ke hari terus berkembang.”

Pengakuan Dr. Aiman al-Zhawahiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz al-Sa’ud. Pangeran Nayif menyatakan kepada Harian “As-Siyasah al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M:

““Tanpa ada keraguan sedikit pun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula dari organisasi Ikhwanul Muslimin. Sungguh, kamu telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwanul Muslimin sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”

Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan:
“Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwanul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir, pent), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan saya pun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah azza wa jalla- mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwanul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kami pun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diteirma sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”

Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali Pangeran Nayif berkata, “Sesungguhnya mereka (Ikhwanul Muslimin) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”

Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr. Aiman al-Zhawahiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:

Nukilan 1:

“Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada akidah islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada syari’at dan undang-undang yang islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh permukaan bumi. Bahkan agama islam sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.” [Al 'Adalah Al-Ijtima'iyah 182]

Nukilan 2:

“Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini, niscaya kita tidak temukan eksistensi dair agama ini.” [Al 'Adalah Al-Ijtima'iyah 183]

Saudaraku! Sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi anda setelah membaca ucapan ini?!

Demikianlah ideologi ekstrim yg diajarkan oleh Sayyid Quthub melalui bukunya yang oleh Dr. Aiman al-Zhawahiri disebut sebagai “Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.

Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya “Fi Zhilalil Qur’an” ketika menafsirkan surat Yunus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “tempat peribadatan Jahiliyah”. Sayyid Quthub berkata:

“Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka meninggalkan tempat-tempat peribadatan Jahiliyah. Dan menjadikan rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan semacam tanzhim dalam nuansa ibadah yang suci.”

Yang dimaksud “Ma ‘abid Jahiliyah” (tempat-tempat ibadah Jahiliyyah) adalah masjid-masjid kaum muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasa memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan?! Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.

Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:

“Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama’ah: “Hendaknya mereka memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya…..Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwanul Muslimin. Kita membalas dendam dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana menteri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwanul Muslimin di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang.” [Limadza A'ddamuni oleh Sayyid Quthub hal.55]

Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman ini. Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan Ikhwanul Muslimin dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah terpecah menjadi tiga aliran:

1. Aliran Hasan al-Banna

Dalam mengembangkan jaringananya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa peduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:

“Kita bersatu dalam hal sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita.”

Tidak mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhim sering menjadi tema utama pembahasan.

2. Aliran Sayyid Quthub

Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwanul Muslimin, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwanul Muslimin. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwanul Muslimin terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya, Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “tempat peribadatan jahiliyyah”.

Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nashir, ia pun menyeru pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana di utarakan di atas.

3. Aliran Muhammad Surur Zaenal Abidin

Setelah pergerakan Ikhwanul Muslimin mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria dan beberapa negera arab lainnya, mereka berusaha menyelamarkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu karena penguasa Kerajaan Arab Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang tertindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu Kerajaan Arab Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi disana.

Disisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan Lainnya merasa terbebaskan dari banyak pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan tempat kepada para pelarian Ikhwanul Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul Aziz di atas.

Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin berusaha beradaptasi dengan paham yang diajarkan di sana. Sebagaimana kita ketahui, Ulama’-Ulama’ Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang anti pati dengan segala bentuk kesyirikan dan bid’ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin turut menyuarakan hal yang sama. Hanya dengan cara inilah mereka bisa mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid dan sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut dengan tauhid hakimiyyah.

Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi pemuda-pemuda Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannnya. Berikut salah satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhid hakimiyyah ini:

“Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilaah yang berhak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa PERUNDANG-UNDANGAN dalam kehidupan umat manusia adalah hal Allah azza wa jalla semata. Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah azza wa jalla jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan ajaran-ajaran-Nya….Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat undang-undang, syari’at dan peraturan pemerintahan menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat uluhiyyah Allah azza wa jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat uluhiyyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir.” [Al 'Adalah Al-Ijtima'iyah hal.80]

Ketika menafsirkan ayat 19 surat al An’am, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan : “Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada saat pertama kali agama islam menyeru umat manusia kepada ‘laa ilaaha illallaah‘ . Sungguh , saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia, mengalami penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari ‘laa ilaaha illallaah‘. Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ngulang ucapan ‘laa ilaaha illallaah’ akan tetapi tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka mengulang-ngulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat “al-hakimiyyah” pada dirinya. Padahal “al-hakimiyyah” adalah sinonim dengan “al-uluhiyyah”

Yang dimaksud oleh Sayyid Qutb dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para mu’adzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para mu’adzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri Anda yang bukan muadzin?

Kedudukan al-hakimiyyah; kewenangan untuk meletakkan syari’at dalam islam, sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan uluhiyyah. Al-Hakimiyyah hanyalah bagian dari rububiyyah Allah azza wa jalla. Karenanya, setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi dan pergantian siang dan malam, Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [QS.al-A'raf/7:54-55]

Pada ayat 54, Allah azza wa jalla menegaskan bahwa mencipta dan memerintah yang merupakan kesatuan dari rububiyyah adalah hak Allah azza wa jalla. Pada ayat selanjutnya Allah azza wa jalla memerintahkan agar kita mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat bila al-hakimiyyah disejajarkan dengan uluhiyyah. Apalagi sampai dikesankan bahwa al-hakimiyyah di zaman sekarang lebih penting dibanding al-uluhiyyah.

Ucapan Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat. Karenanya, di antara upaya Kerajaan Arab Saudi dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah dengan berupaya membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan yang menurut saya cukup bagus dan layak ditiru adalah:

1. Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik adalah: Sayyid Quthub Al Muftara dan Kitab al-Jihad Fi Sabilillah.

2. Membentuk badan rehabilitasi yang beranggotakan para Ulama’ guna meluruskan pemahaman dan mentralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka kembali menjadi anggora masyarakat yang sewajarnya.

Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa’ud al-Faisal, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S.-Saudi Arabian Business Council (USSABC) yang berlangsung di Newyork, pada tanggal 26 April 2004. Pangeran Sa’ud berkata: “Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya bila Anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya Bin Ladin. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan ideologi dan pola pikirnya di Afhganistan. Semuanya berkat pengaruh dari kelompok sempalan gerakan Ikhwanul Muslimin. Saya yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi tersebut.

Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia bertanggung jawab atas kesalahn yang telah terjadi, maka sudah sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggung jawab atas kesalahan yang sama. Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama mujahidin.”
[Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825]

Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita.


 [Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Thn.XIII/Muharram 1431H/Januari 2010M Hal.26-31]

Sumber : http://alqiyamah.wordpress.com/2010/01/26/siapa-sebenarnya-pembangkit-radikalisme-terorisme-modern-di-tengah-umat-islam/




Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.