Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



MEMOTONG JENGGOT YANG PANJANGNYA LEBIH DARI SATU GENGGAM?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Memendekkan Jenggot… Bolehkah?

Perlu kami tegaskan lagi di sini, bahwa para ulama salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa memendekkan jenggot hingga kurang dari genggaman tangan adalah haram, sebagaimana telah kami singgung di awal tulisan ini.

Yang menjadi khilaf adalah, bolehkah kita memendekkan jenggot sampai batas genggaman tangan?

Ada dua pendapat dalam masalah ini, sebagian ulama mengharamkannya, sedang jumhur (mayoritas) ulama membolehkannya.

Diantara dalil pendapat yang mengharamkan:

1. Ke-umum-an dalil-dalil yang mewajibkan memelihara jenggot. Dalil-dalil tersebut tidak menerangkan batasan bolehnya memangkas jenggot. Itu menunjukkan bahwa larangan memangkas jenggot itu umum, baik kurang dari genggaman tangan atau lebih darinya.

2. Redaksi perintah memanjangkan jenggot dalam hadits adalah: “ahfuu” “a’fuu” “Arkhuu” “waffiruu” dan “arjuu” atau “arji’uu“, dan kata-kata itu dalam bahasa arab berarti perintah membiarkan jenggot apa adanya, yakni tidak boleh memangkasnya sama sekali. (Lihat Syarah Shohih Muslim, karya Imam Nawawi, hadits no: 260).


3. Tidak ada dalil yang shohih dari sabda maupun perbuatan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, yang menunjukkan bahwa beliau pernah memangkas jenggotnya. Yang shohih dari beliau hanyalah perintah untuk memanjangkan jenggot saja sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Albani -rohimahulloh-. Padahal kita tahu, setiap perintah dari syari’at itu menunjukkan kewajiban, kecuali ada dalil yang merubahnya. Itu berarti wajib bagi kita membiarkan jenggot apa adanya, dan haram bagi kita memangkasnya.

Sedang diantara dalil pendapat yang membolehkan:

1. Adanya beberapa atsar yang shohih dari sebagian sahabat, yang menunjukkan bolehnya memendekkan jenggot hingga batas genggaman tangan, diantaranya:

كان ابن عمر إذا حج أو اعتمر قبض على لحيته, فما فضل أخذه (أخرجه البخاري 5892)ـ

Dahulu Ibnu Umar jika haji atau umroh, ia memegang jenggotnya, lalu memotong yang lebih genggamannya. (HR. Bukhori 5892)

عن جابر بن عبد الله قال: كنا نعفي السبال إلا في حج أوعمرة (أخرجه أبو داود 4201 وحسنه الحافظ ابن حجر في الفتح, شرح حديث رقم 5892)ـ

Jabir bin Abdulloh mengatakan: “Dahulu kami membiarkan apa yang panjang dari jenggot kami, kecuali saat haji atau umroh”. (HR. Abu Dawud 4201, dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, syarah hadits no 5892)

عن أبي زرعة بن جرير: كان أبو هريرة يقبض على لحيته, ثم يأخذ ما فضل عن القبضة. قال الألباني: وإسناده صحيح على شرط مسلم (السلسلة الضعيفة 13/440)ـ

Dari Abu Zur’ah bin Jarir: “Dahulu Abu Huroiroh memegang jenggotnya, lalu mengambil yang lebih dari genggamannya”. Syeikh Albani mengatakan: Sanadnya shohih sesuai syaratnya Imam Muslim (Silsilah Dloifah 13/441).

عن إبراهيم النخعي: كانوا يأخذون من جوانبها وينظفونها يعني اللحية. (قال الألباني: أخرجه ابن أبي شيبة والبيهقي في شعب الإيمان بإسناد صحيح عن إبراهيم النخعي. السلسلة الضعيفة 13/440)ـ

Ibrohim an-Nakho’i -ulama salaf dari kalangan tabi’in- mengatakan: “Dahulu mereka mengambil sebagian dari pinggir-pinggir jenggot mereka dan membersihkannya”. Syeikh Albani mengatakan: Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman dengan sanad yang shohih dari Ibrohim an-Nakho’i. (Silsilah Dlo’ifah 13/440). Dan sebagaimana dikatakan oleh para ulama, Ibrohim an-Nakho’i ini mendapati beberapa sahabat yang masih hidup di masanya.

2. Perbuatan Ibnu Umar itu dilakukannya ketika sedang haji, dan tentunya banyak ulama salaf lain yang melihatnya atau mendengarnya, tapi tidak satupun dari mereka mengingkarinya. Itu menunjukkan bahwa tindakan itu bukanlah hal yang terlarang dalam Islam. Karena jika hal itu terlarang dan bertentangan dengan perintah memanjangkan jenggot, tentunya ada ulama salaf lain yang menasehati atau mengingkarinya, sebagaimana mereka saling menasehati atau mengingkari dalam masalah yang lebih ringan dari ini, selama hal itu dianggap melanggar perintah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-.

3. Ibnu Umar adalah sahabat yang terkenal dengan kesungguhannya dalam mengikuti setiap tuntunan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, bahkan sampai pada hal-hal yang mubah… Dan bila dalam hal yang mubah saja beliau berusaha meniru Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, beranikah beliau melanggar atau meninggalkan perintah memanjangkan jenggot ini… Apalagi diantara yang meriwayatkan perintah memanjangkan jenggot itu juga beliau sendiri… Renungkanlah atsar-atsar berikut ini:

عن عائشة رضي الله عنها: ما رأيت أحدا ألزم للأمر الأول من ابن عمر (سير أعلام النبلاء 3/203)ـ

Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan: Tidak kulihat seorang pun yang berpegang teguh dengan al-Amrul Awwal (sunnah Rosul) melebihi Ibnu Umar.

قال نافع: لو نظرت إلى ابن عمر إذا اتبع رسول الله صلى الله عليه وسلم لقلت هذا مجنون. (سير أعلام النبلاء 3/203)ـ

Nafi’ mengatakan: Jika kamu melihat Ibnu Umar ketika mengikuti Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, niscaya kamu akan mengatakan: “ini orang gila”.

وقال جعفر الباقر: كان ابن عمر إذا سمع من رسول الله صلى الله عليه وسلم حديثا لا يزيد ولا ينقص, ولم يكن أحد في ذلك مثله. (سير أعلام النبلاء 3/203)ـ

Ja’far al-Baqir mengatakan: Dahulu Ibnu Umar jika mendengar hadits dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, ia tidak menambah ataupun menguranginya, dan tidak seorang pun yang (ku lihat) seperti dia.

وقال في تهذيب الأسماء واللغات (1/279): كان شديد الاتباع لآثار رسول الله صلى الله عليه وسلم, ومناقبه كثيرة مشهورة, قل نظيره في المتابعة لرسول الله صلى الله عليه وسلم, في كل شيء من الأقوال والأفعال

Imam Nawawi mengatakan: Ibnu Umar adalah orang yang sangat teguh dalam mengikuti jejak-jejak Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, keutamaannya banyak dan masyhur, sedikit orang yang seperti dia dalam mengikuti Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dalam segala hal, baik dalam hal mengikuti ucapan maupun perbuatan beliau. (Tahdzibul Asma’ wal Lughot 1/279)

وقال في وفيات الأعيان (2/234): “وكان كثير الاتباع لآثار رسول الله صلى الله عليه وسلم, شديد التحري والاحتياط والتوقي في فتواه وكل ما يأخذ به نفسه… وكان أعلم الصحابة بمناسك الحج”ـ

Ibnu Kholikan mengatakan: Ibnu Umar adalah seorang yang banyak mengikuti jejak-jejak Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, ia ektra teliti, hati-hati, dan takut dalam fatwa dan setiap pendapat yang dipilihnya… dia adalah sahabat yang paling tahu tentang manasik haji. (Wafayatul A’yan 2/234)

4. Jika mereka mengatakan: “Kita tidak mengambil pemahaman si perowi hadits (yang membolehkan memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan), tapi yang kita ambil adalah riwayatnya (yang memerintahkan kita membiarkan jenggot apa adanya)”, maka kita katakan: Hal itu bisa dibenarkan, bila keduanya tidak bisa dikompromikan, tapi selama keduanya bisa dikompromikan tanpa dipaksakan, maka hal itu lebih didahulukan, dari pada meninggalkan pemahaman si perowi sama sekali. Fal jam’u aula minat tarjih. (lihat penjelasan Syeikh Albani dalam masalah ini di silsilah dlo’ifah 13/442)

5. Jika mereka berdalil dengan arti bahasa dari “ahfuu” “a’fuu” “Arkhuu” “waffiruu” dan “arjuu” atau “arji’uu“, maka kita katakan: Bukankah Ibnu Umar dan para salaf juga memahami makna bahasa dari kata-kata itu?!… Lalu mengapa ada diantara mereka yang memangkas jenggotnya hingga batas genggaman tangan, sedang para salaf yang lain tidak mengingkarinya?!… Bukankah pahamnya para salaf dalam memahami nash syariat, lebih didahulukan dari pada pemahaman generasi yang datang setelahnya?!

6. Adanya tafsiran dari Sahabat Ibnu Abbas dengan sanad yang shohih, yang menunjukkan bolehnya memendekkan jenggot hingga batas genggaman tangan.

عن ابن عباس أنه قال في قوله تعالى [ثم ليقضوا تفثهم]، التفث: حلق الرأس, وأخذ الرأس, وأخذ الشاربين, ونتف الإبط, وحلق العانة, وقص الأظفار, والأخذ من العارضين ورمي الجمار، والموقف بعرفة والمزدلفة. قال الشيخ الألباني: أخرجه ابن جرير وإسناده صحيح (السلسلة الضعيفة 13/441)ـ

Dari Ibnu Abbas, ia mengatakan dalam firmannya Alloh ta’ala (yang artinya): “kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran mereka”, maksud dari kata kotoran adalah: menggundul kepala, menyukur kumis, menyabuti bulu ketiak, menggundul rambut kemaluan, memotong kuku, mengambil sebagian dari sisi jenggotnya, melempar jamarot, dan berwukuf di arofah, dan mabit di Muzdalifah. (Syeikh Albani mengatakan, atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, dan sanadnya shohih. Lihat di silsilah dlo’ifah 13/441)

Tafsiran pakar tafsir dari generasi Sahabat ini, juga disebutkan oleh pakar tafsir dari generasi Tabi’in, diantaranya Mujahid dan Muhammad bin Ka’b al-Qurozhi:

عن مجاهد في قوله تعالى [ثم ليقضوا  تفثهم] قال: حلق الرأس، وحلق العانة, وقص الأظفار, وقص الشارب, ورمي الجمار, وقص اللحية. قال الألباني: سنده صحيح. (السلسلة الضعيفة 13/441)ـ

Dari Mujahid, dalam firman-Nya (yang artinya): “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran mereka”, ia mengatakan: (maksudnya adalah) menggundul kepala, menggundul rambut kemaluan, memotong kuku, menyukur kumis, melempar jamarot, dan memendekkan jenggot“. (Syeikh Albani mengatakan: Sanadnya shohih. Lihat di silsilah dlo’ifah 13/441)

عن محمد بن كعب القرظي كان يقول في هذه الآية: [ثم ليقظوا تفثهم], قال: رمي الجمار, وذبح الذبيحة, وأخذ من الشاربين واللحية والأظفار, والطواف بالبيت, وبالصفا والمروة. قال الألباني: أخرجه ابن جرير بسند جيد عنه (السلسلة الضعيفة 13/441)ـ

Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi dahulu menafsiri ayat ini (yang artinya): “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran mereka” ia mengatakan: (maksudnya adalah) melempar jamarot, menyembelih sembelihan, mengambil sebagian dari kumis, jenggot, dan kuku, thowaf di ka’bah, dan sa’i di shofa dan marwa. (Syeikh Albani mengatakan: Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang jayyid)

7. Dalil pendapat pertama adalah dalil umum, sedang dalil pendapat kedua adalah dalil khusus, dan dalam kaidah ushul fikih dikatakan: bahwa dalil umum harus dimaknai sesuai dengan petunjuk dalil khusus. Sehingga maksud dari perintah umum memanjangkan jenggot itu adalah kewajiban memanjangkan jenggot hingga batas genggaman tangan, dan apa yang lebih dari genggaman, boleh dipotong sebagaimana ditunjukkan oleh dalil khusus dari para ulama’ salaf, wallohu a’lam.

Dengan pemahaman ini, kita akan bisa mengompromikan nash-nash perintah memanjangkan jenggot, dengan pemendekan jenggot hingga batas genggaman yang dilakukan oleh para salaf kita, sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya.

8. Inti dari dalil pendapat pertama adalah: menuntut kita untuk mendatangkan dalil bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan, dan Alhamdulillah kita telah mendatangkan dalil-dalil tersebut.

Meski tidak ada dalil dari sabda dan perbuatan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, tapi bukankah tindakan dan kesepakatan para sahabat beliau, cukup untuk menunjukkan bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan?!

Bukankah imam empat sepakat, bahwa pendapat para sahabat pada masalah yang tidak ada khilaf diantara mereka, itu bisa dijadikan hujjah (dalil), selama tidak ada dalil dari Kitab maupun Sunnah?!

Dan bukankah pendapatnya para sahabat beliau lebih kuat, dari pada pendapatnya generasi setelah mereka yang menyelisinya?!

9. Jika ada yang mengatakan: Perbuatan Ibnu Umar hanya dilakukan ketika haji, mengapa kita jadikan dalil untuk membolehkannya secara mutlak, tanpa batasan waktu haji?! Maka kita katakan: “Jika waktu haji saja boleh, maka waktu yang lainnya lebih dibolehkan”, sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Ibnu Abdil Barr mengatakan:

وفي أخذ ابن عمر رضي الله عنهما من آخر لحيته في الحج دليل على جواز الأخذ من اللحية في غير الحج, لأنه لو كان غير جائز ما جاز في الحج. (الاستذكار 13/116)ـ

Perbuatan Ibnu Umar r.a. yang memotong ujung jenggotnya ketika haji, merupakan dalil bolehnya memotong sebagian jenggot di luar haji, karena jika di luar haji hal itu tidak boleh, tentunya hal itu tidak dibolehkan juga ketika haji. (Alistidzkar 13/116)

Bisa juga dikatakan: Jika perbuatan Ibnu Umar ini, hanya bisa dijadikan dalil untuk membolehkan memangkas jenggot hingga batas genggaman ketika haji saja, maka atsar dari Abu Huroiroh dan an-Nakho’i, bisa kita gunakan untuk dalil bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan di waktu lainnya, wallohu a’lam.

10. Terakhir, kami akan sebutkan di sini dalil yang menurut pandangan penulis lemah, tapi tidak mengapa bila diikutkan dengan dalil-dalil yang telah lalu.

a. Sebagian orang, ada yang jenggotnya terlalu subur, hingga pertumbuhnya cepat dan panjangnya di luar batas kewajaran, hingga sangat memberatkan dirinya dalam menjalankan kewajiban ini, dan ini tidak selaras dengan dasar-dasar ajaran Islam yang mudah dan tidak memberatkan. Dalam biografinya Dhiya’ bin Sa’d bin Muhammad bin Utsman al-Qozwini al-Afifi (wafat 780 H) dikatakan:

وكانت لحيته طويلة, بحيث يصل إلى قدميه, ولا ينام إلا وهي في كيس, وإذا ركب تتفرق فرقتين. (درة الحجال في أسماء الرجال 3/37), (بغية الوعاة للسيوطي 2/14)ـ

Dahulu jenggotnya panjang, hingga sampai di kedua kakinya, ia tidak tidur melainkan jenggotnya dimasukkan ke tempat pembungkus, dan jika naik (tunggangan) jenggotnya dibelah menjadi dua. (Durrotul Hijal fi Asma’ir Rijal 3/73) (Bughyatul Wu’ah lis Suyuthi 2/14).

b. Di antara hikmah disyariatkannya memanjangkan jenggot -sebagaimana disebutkan oleh para ulama- adalah karena ia merupakan penghias bagi laki-laki, dan bila jenggot dibiarkan apa adanya, hingga panjangnya menjadi tidak wajar, maka ia tidak lagi menjadi penghias, tapi sebaliknya akan menjadikan pemandangan kurang pantas. Dan tentunya hal ini tidak sesuai dengan hikmah yang ada.

c. Di antara alasan memanjangkan jenggot adalah, menyelisihi kaum ahli kitab, musyrikin, dan majusi, yang menipiskan atau bahkan menggundul jenggotnya. Dan hal itu sudah terlaksana bila kita memanjangkan jenggot ini hingga batas genggaman tangan, wallohu a’lam.

Melihat dalil-dalil yang ada, penulis -yang sedikit ilmu ini- lebih condong ke pendapat kedua, yakni bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan, sebagaimana dilakukan oleh para salafush sholih, wallohu a’lam.

Akhirnya, kami akan tutup pembahasan ini, dengan menukil perkataan para imam empat yang memilih pendapat kedua ini. Kami sebutkan pendapat para imam ini, agar kita tahu bahwa khilaf yang ada dalam masalah ini, datangnya itu belakangan, yakni dari para pengikut madzhab, bukan dari para imam tersebut… Sungguh para Imam Empat telah sepakat tentang haramnya menggundul jenggot… Mereka juga telah sepakat tentang bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan. Berikut kami nukilkan perkataan mereka:

1. Imam Abu Hanifah

قال محمد بن الحسن -صاحب أبي حنيفة- رحمهما الله: أخبرنا أبو حنيفة عن الهيثم عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنه كان يقبض على لحيته ثم يقص ما تحت القبضة. قال محمد: وبه نأخذ, وهو قول أبي حنيفة. (الآثار 900، العناية شرح الهداية 3/308)ـ

Muhammad ibnul Hasan mengatakan: Imam Abu Hanifah mengabarkan kepada kami, dari al-Haitsam, dari Ibnu Umar r.a.: Sesungguhnya dia (Ibnu Umar) dulu memegang jenggotnya, lalu memangkas yang di bawah genggamannya. Muhammad (ibnul Hasan) mengatakan: Dengannya kami berpendapat, dan inilah pendapatnya (Imam) Abu Hanifah.  (al-Atsar 900, al-Inayah Syarhul Hidayah 3/308)

2. Imam Malik

قيل لمالك: فإذا طالت جدا فإن من اللحى ما تطول؟! قال: أرى أن يؤخذ منها وتقصَر… وروى عبيد الله بن عمر عن نافع أن بن عمر كان إذا قصر من لحيته في حج أو عمرة يقبض عليها ويأخذ من طرفها ما خرج من القبضة (الاستذكار 27/65)ـ

Imam Malik pernah ditanya: “Bagaimana jika jenggot itu panjang sekali, karena ada jenggot yang bisa panjang (sekali)?!” Imam Malik menjawab: “Aku berpendapat untuk diambil dan dipendekkan sebagiannya… dan Imam malik meriwayatkan dari Ubaidulloh bin Umar, dari Nafi’: bahwa sesungguhnya Ibnu Umar dahulu jika memendekkan jenggotnya saat haji atau umroh, ia memegang jenggotnya, dan memotong yang keluar dari genggamannya. (Alistidzkar 27/65)

قال أبو عمر: قد صح عن بن عمر ما ذكرناه عنه في الأخذ من اللحية وهو الذي روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بإحفاء الشوارب وإعفاء اللحى وهو أعلم بما روى (الاستذكار 27/66)ـ

Abu Umar (Ibnu Abdil Barr) mengatakan: Telah (datang dengan sanad yang) shohih dari Ibnu Umar tentang (bolehnya) mengambil sebagian dari jenggot, dan dia juga yang meriwayatkan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bahwa beliau memerintah untuk menyukur tipis kumis dan memanjangkan jenggot, dan (tentunya) dia lebih tahu dengan apa yang diriwayatkannya.  (Alistidzkar 27/66)

3. Imam Syafi’i

وأحب إلي لو أخذ من لحيته وشاربه, حتى يضع من شعره شيئا لله, وإن لم يفعل فلا شيء عليه, لأن النسك إنما هو في الرأس لا في اللحية. (الأم 2/2032)ـ

Imam Syafi’i mengatakan: Aku lebih senang jika ia (orang yang bermanasik, yakni ketika tahallul) mengambil sebagian dari jenggot dan kumisnya, sehingga ia meletakkan sebagian dari rambutnya karena Alloh. Tapi jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa, karena yang menjadi amalan manasik adalah menyukur rambut yang di kepala, bukan yang di jenggot. (al-Umm 2/2032)

قال المزني: ما رأيت أحسن وجها من الشافعي رحمه الله, وكان ربما قبض على لحيته فلا يفضل عن قبضته. (سير أعلام النبلاء 10/11)ـ

Al-Muzani mengatakan: Aku tidak melihat ada orang yang lebih tampan wajahnya dari Imam Syafi’i -rohimahulloh-, dan terkadang ia mengenggam jenggotnya, lalu ia tidak menambah lebih dari genggamannya. (Siyaru A’lamin Nubala’ 10/11)

4. Imam Ahmad

عن إسحاق بن هانئ قال: سألت أحمد عن الرجل يأخذ من عارضيه؟ قال: يأخذ من اللحية ما فضل عن القبضة. قلت: فحديث النبي صلى الله عليه وسلم “أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى”؟ قال: يأخذ من طولها, ومن تحت حلقه. ورأيت أبا عبد الله يأخذ من طولها ومن تحت حلقه. (كتاب الترجل من كتاب الجامع 113-114)ـ

Ishaq bin Hani’ mengatakan: Aku telah bertanya kepada (Imam) Ahmad, tentang orang yang mengambil sebagian dari sisi jenggotnya? Beliau menjawab: “Boleh baginya mengambil sebagian dari jenggotnya, apa yang melebihi genggamannya”. Aku bertanya lagi: Lalu bagaimana dengan hadits Nabi -shollallohu alaihi wasallam- yang berbunyi: “Potong tipislah kumis, dan biarkan jenggot apa adanya!”. Beliau menjawab: “Boleh baginya mengambil dari panjangnya dan dari bawah langit-langit mulutnya”. (Ishaq mengatakan:) Dan aku telah melihat (sendiri) Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) mengambil jenggotnya dari sisi panjangnya dan dari bawah langit-langit mulutnya. (Kitabut Tarojjul dari Kitabul Jami’ 113-114)

Para pembaca yang dirahmati Alloh…

Terakhir, kami ingin mengingatkan lagi kepada para pembaca, khususnya yang sudah mengamalkan Sunnah Rosul ini dengan sabda-sabda berikut:

من كان له شعر فليكرمه (رواه أبو داود 4163, وصححه الألباني)ـ قال في عون المعبود: أي فليزينه ولينظفه بالغسل والتدهين والترجيل, ولا يتركه متفرقا, فإن النظافة وحسن المنظر محبوب

” Barangsiapa mempunyai rambut, maka hendaklah ia menghormatinya” (HR. Abu Dawud 4163, dan dishohihkan oleh Albani). Pengarang kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud mengatakan: maksudnya adalah “maka baguskanlah rambut itu, dan bersihkanlah dengan mencucinya, meminyakinya, dan menyisirnya, dan janganlah ia biarkan kumal, karena sesungguhnya kebersihan dan bagusnya penampilan itu disukai”

عن عائشة قالت: كنت أطيب النبي صلى الله عليه وسلم بأطيب ما يجد, حتى أجد وبيص الطيب في رأسه ولحيته

Aisyah mengatakan: Aku dulu biasa memarfumi Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dengan minyak terbaik yang ada, hingga aku lihat kilatan minyak itu di kepala dan jenggot beliau. (HR. Bukhori 5923)

عن جابر بن عبد الله: أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم, فرأى رجلا شعثا قد تفرق شعره, فقال: أما كان يجد هذا ما يسكن به شعره؟! (رواه أبو داود 4062, وصححه الألباني)ـ

Jabir  bin Abdulloh mengatakan: Suatu hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- mendatangi kami, maka ketika melihat orang yang rambutnya kusut tidak teratur, beliau mengatakan: “Apa orang ini tidak punya sesuatu yang bisa membuat rapi rambutnya”

Intinya, Rawatlah rambut kita, baik rambut kepala maupun rambut jenggot , dengan membersihkannya, meminyakinya, menyisirnya, dan lain sebagainya. Karena itu termasuk adab-adab islami yang dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

Sekian tulisan ini, dan mohon maaf jika terlalu panjang. Tidak lain, penulis hanya ingin memberikan manfaat kepada diri sendiri dan juga para pembaca… semoga kita bisa mengamalkan ilmu yang kita dapatkan… amin.


Penulis: Ustadz Abu Abdillah Addariny, Lc. (Sekarang sedang menyelesaikan S2, di Universitas Islam Madinah, jurusan Ushul Fikih).

Sumber :
http://addariny.wordpress.com/2010/01/24/jenggot-haruskah-4/

Catatan Al Akh Al Fawaid
http://www.facebook.com/note.php?note_id=201105045683


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.