Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



TAHLILAN DALAM PANDANGAN WALI SONGO, ULAMA SALAF, DAN IMAM 4 MAZHAB

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :




Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana. 

Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir.

Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)

Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.

Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:

"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan

Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)

Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan"

Dua Pendekatan dakwah para wali.

1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina" (itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga). 

Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi). [Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]


Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. 

Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang 'aneh' asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum'at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)". (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)

Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepada kami, Waki' bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah".

Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara' adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).

Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa'idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara'ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: "al-Khara'ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: 'Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah'. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid'ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan'. (al-Aqrimany dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).

Dan para ulama berkata: "Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu". (al-Aqrimany hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I'anah at- Thalibien menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan. Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai menyampaikan ta'ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)

Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma'tam: "Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi'ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.

" Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam kitab I'anah at-Thalibien: "Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid'ah munkarah tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan". (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien juz II, hal 166) Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an- Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak". (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)

Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun keduanya tampak sejenis. Yang membedakan 72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah. 

Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim. Ibn Abbas r.a berkata: "Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid'ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid'ah. tidak akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid'ah, kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam Akhirat".(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa'idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:

1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. 

2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya. 

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, hal 200)

Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab 'Ianah, ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disukai agama (hal 285). Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang menghukumi bid'ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa'idz. tidak tau siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286). 
Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid'ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). demikian dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan dengan haram, maka hukumnya adalah haram". (al-Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.

BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN

I. MADZHAB HANAFI 

HASYIYAH IBN ABIDIEN 
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar 'ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240) 

AL-THAHTHAWY  
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah 'ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409). 

IBN ABDUL WAHID SIEWASY  
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid'ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)


II.MADZHAB MALIKI 

AL-DASUQY 
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid'ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy 'ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)  

ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY 
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid'ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)... adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)


III.MADZHAB SYAFI’I
AL-SYARBINY 
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna' li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210) 

AL-QALYUBY  
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid'ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;') juz I, hal 353) 

AN-NAWAWY  
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu' (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid'ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)  

AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI  
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid'ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)  

AL-AQRIMANY 
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid'ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)  

RAUDLAH AL-THALIBIEN 
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)


IV. MADZHAB HAMBALI  

IBN QUDAMAH AL-MUQADDASY 
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: "Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?" Jawab Jarir: "Ya". Berkata Umar: "Hal tersebut termasuk meratapi mayat". Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)  

ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY  
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu' wa Tashhih al-Furu' (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)  

ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY  
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda' fi Syarh al-Miqna' (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283) 

MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY 
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi' (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)  

KASYF AL-QANA'  
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya...dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)  

IBNU TAIMIYAH  
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid'ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)

Artikel terkait dengan masalah ini, dapat di lihat pada artikel dengan judul :
TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM


Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini



Sumber : Catatan Al Akh Anwar Baru Belajar
http://www.facebook.com/notes/anwar-baru-belajar/tahlilan-dalam-pandangan-wali-songo-ulama-salaf-dan-4-mazhab/119997524710098


Share

Comments (6)

Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk
sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu
berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT
dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih,
Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.

Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau
namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa
ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan
berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan
memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah
hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha
puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas
dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk
Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat
Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya
yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW
saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan
ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih
Muslim hadits no.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan
Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya
apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab
Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai
Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak
disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk
mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang
menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat
manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG
KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini
telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI
KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,

Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barang siapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah pahala orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.

Lebih lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah “dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39) ia menjelaskan, Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang

hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya.

Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain”

Dalam kitab Ar-Ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal. Bahkan tak tangung-tanggung Ibnul Qayyim menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman tentang hal tersebut.
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka
terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan
anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll
untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW
menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan
untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al
Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH
DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI
DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang
memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?,
hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.

Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat
qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang
awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an
dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat,
bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk
mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari,
Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu
Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila
mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,

Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya
muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak
pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang
mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil
yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh
Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang
orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha
illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang
mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada
muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan
untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan
atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan
computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan
mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal
itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya,
sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram,
bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka
tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari
kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR
Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka
ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas
setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu
berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku
mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas
akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat
buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak
melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu
ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan
hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :

.
Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji
untuk Rasulullah saw”.
.
Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq
Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang
pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk
Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah
saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu
masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada
313H
.
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan
aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali
khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq

Adapun fatwa imam nawawi, imam lainnya, dsb itu justru merupakan bukti UCAPAN GUNTING TAMBAL YANG CURANG DAN LICIK untuk melegitimasi pendapat sendiri.

pembahasannya ada di sini:

http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=5671#5671

@ sunnahonline :
Afwan ya akhi, ada baiknya antum belajar dulu apa itu MUTLAK dan apa itu MUQAYYAD, baru antum komen panjang lebar disini.
Tidak ada yang melarang seorang muslim untk bertahlil, berdzikir dan bermajlis dalam rangka untk mendekatkan diri kepada Allah.
NAMUN, jika amalan tersebut di ikat dengn suatu waktu, jenis, dan bilangan (hari), maka ini menjadi MUQAYYAD, dan ini adalah perkara tauqif. 'Aina dalil??.
Silahkan antum buka2 kitab2 ulama antum, adakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in dan para ulama mazhab melakukan suatu amalan tertentu pada 7 hari, 40 hari, 100 hari setelah si mayit wafat?
Ada di kitab mana? bab apa?
INGAT ya akhi, ana bertanya darimana asalnya penetapan adanya amalan 7HARI, 40 HARI dan 100 HARI ini?

Allahu yahdik...wa hadaanallahu.

ACARA KEMATIAN 7, 40, 100, 1000 HARI ADALAH DARI AJARAN HINDU
http://www.abuayaz.co.cc/2010/09/acara-kematian-7-40-100-1000-hari.html

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.